Perkembangan
Politik Indonesia Sejak Orde Baru Sampai Era Reformasi
PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA SEJAK ORDE
BARU SAMPAI ERA REFORMASI
1. Latar Belakang Lahirnya Orde Baru
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara
kekuasaan masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai
sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965.
Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
• Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
• Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara
Indonesia.
• Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
• Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna
mempercepat proses pembangunan bangsa.
Latar belakang lahirnya Orde Baru :
• Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
• Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30
September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung
lama.
• Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan
upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar
menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
• Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan
besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut
agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
• Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung
membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal
dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30
September 1965.
• Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR
mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
1. Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
2. Pembersihan Kabinet Dwikora
3. Penurunan Harga-harga barang.
• Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet
Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet
tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September
1965.
• Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk
mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965
tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar
Biasa(Mahmilub).
• Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang
bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas
Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil
langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau
dan sulit dikendalikan.
Upaya menuju pemerintahan Orde Baru :
• Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada kehidupan
berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan
dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintaha.
• Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin besarnya kepercayaan rakyat
kepada pemerintah karena Suharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan
PKI.
• Munculnya konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara
Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan.
• Konflik Dualisme inilah yang membawa Suharto mencapai puncak kekuasaannya
karena akhirnya Sukarno mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan
pemerintahan kepada Suharto.
• Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk
mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai
pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan
pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno .
• 12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik
Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan
dimulainya kekuasaan Orde Baru.
• Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai
Presiden Republik Indonesia.
Kehidupan Politik Masa Orde Baru
Upaya untuk melaksanakan Orde Baru :
Melakukan pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan
masyarakat berbangsa dan bernegara.§
Menyusun kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna§mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat adil dan
makmur.
Menetapkan Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen.§
Melaksanakan Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga
negara.§
Pelaksanaan Orde Baru :
Awalnya kehidupan demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan.ü
Perkembangannya, kehidupan demokrasi di Indonesiaü tidak berbeda dengan masa
Demokrasi Terpimpin.
Untuk menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan untukümenganut sistem pemerintahan berdasarkan Trias
Politika(dimana terdapat tiga pemisahan kekuasaan di pemerintahan yaitu
Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun tidak diperhatikan/diabaikan.
Langkah yang diambil pemerintah untuk penataan kehidupan Politik :
A. Penataan Politik Dalam Negeri
1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA
dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk
menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan
pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet
AMPERA adalah sebagai berikut.
• Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
• Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
• Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
• Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden
untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama
Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang
meliputi :
• Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
• Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
• Pelaksanaan Pemilihan Umum
• Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 3o September
• Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh
PKI.
2. Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta
kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
• Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya
Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966..
• Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi
terlarang di Indonesia.
• Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap
terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan bahwa
mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
3. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan
berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi)
sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada
ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga
kekuatan sosial-politik, yaitu :
• Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan
Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai
politik Islam)
• Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik,
Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
• Golongan Karya (Golkar)
4. Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam
kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimanaü para pejabat negara
termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut
menjadi calon partai secara formal.
Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saatü pemilu sudah ada dan diakui
mempunyai wakil di DPR/DPRD.
Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orangü anggota DPR dimana 360
orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karyaü (236 kursi), Partai
Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai
Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai
Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI
(tak satu kursipun).
2) Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3
tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga
ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil
dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk
Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3) Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara
Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh
tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan
dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI
kehilangan 5 kursi.
4) Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu
1987 adalah:
• PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan
pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam
(pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan
diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
• Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
• PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI
sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5) Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan
perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299
kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat
menjadi 56 kursi.
6) Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
• Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan
perolehan kursi 325 kursi.
• PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan
kursi 27 kursi.
• PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di
DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI
Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara
tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan
Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar
yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi
perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto
menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu,
setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari
pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
5. Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda
bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal
dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI
adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam
pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah
kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi
stabilisator dan dinamisator.
6. Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai
pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia
Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam
sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”
atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4
secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai
demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan
dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan
tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap
pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah
dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan
pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila
sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi
sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan
sistem sosial masyarakat Indonesia.
7. Mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat dengan
disaksikan oleh wakil PBB pada tanggal 2 Agustus 1969.
B. Penataan Politik Luar Negeri
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada
jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri
Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan
nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta
keadilan.
1) Kembali menjadi anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi
bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia.
Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali
menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab
kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini
dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia
selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi
akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966. Kembalinya
Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak
PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua
Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi
anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah negara
seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara lainnya yang
sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
2) Normalisasi hubungan dengan beberapa negara
(1) Pemulihan hubungan dengan Singapura
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan
dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk
Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik
Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee
Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan
untuk mengadakan hubungan diplomatik.
(2) Pemulihan hubungan dengan Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan
di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang
berisi:
• Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka
ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
• Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
• Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan
Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani
persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan
perwakilan pemerintahan di masing-masing negara..
3) Pendirian ASEAN(Association of South-East Asian Nations)
Indonesia menjadi pemrakarsa didirikannya organisasi ASEAN pada tanggal 8
Agustus 1967. Latar belakang didirikan Organisasi ASEAN adalah adanya kebutuhan
untuk menjalin hubungan kerja sama dengan negara-negara secara regional dengan
negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara. Tujuan awal didirikan ASEAN
adalah untuk membendung perluasan paham komunisme setelah negara komunis
Vietnam menyerang Kamboja. Hubungan kerjasama yang terjalin adalah dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Adapun negara yang tergabung dalam ASEAN
adalah Indonesia, Thailand, Malysia, Singapura, dan Filipina.
4) Integrasi Timor-Timur ke Wilayah Indonesia
Timor- Timur merupakan wilayah koloni Portugis sejak abad ke-16 tapi kurang
diperhatikan oleh pemerintah pusat di Portugis sebab jarak yang cukup jauh.
Tahun 1975 terjadi kekacauan politik di Timor-Timur antar partai politik yang
tak terselesaikan sementara itu pemerintah Portugis memilih untuk meninggalkan
Timor-Timur. Kekacauan tersebut membuat sebagian masyarakat Timor-Timur yang
diwakili para pemimpin partai politik memilih untuk menjadi bagian Republik
Indonesia yang disambut baik oleh pemerintah Indonesia. Secara resmi akhirnya
Timor-Timur menjadi bagian Indonesia pada bulan Juli 1976 dan dijadikan
provinsi ke-27. Tetapi ada juga partai politik yang tidak setuju menjadi bagian
Indonesia ialah partai Fretilin. Hingga akhirnya tahun 1999 masa pemerintahan
Presiden Habibie melakukan jajak pendapat untuk menentukan status Timor-Timur.
Berdasarkan jajak pendapat tersebut maka Timor-Timur secara resmi keluar dari
Negara Kesatuan republik Indonesia dan membentuk negara tersendiri dengan nama
Republik Demokrasi Timor Lorosae atau Timur Leste.
2. Kerja Sama Luar Negeri
Keadaan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama sangat parah, hutangnya mencapai
2,3-2,7 miliar sehingga pemerintah Indonesia meminta negara-negara kreditor
untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pemerintah mengikuti
perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo Jepang pada 19-20 September
1966 yang menanggapi baik usaha pemerintah Indonesia bahwa devisa ekspornya
akan digunakan untuk pembayaran utang yang selanjutnya akan dipakai untuk
mengimpor bahan-bahan baku. Perundingan dilanjutkan di Paris, Perancis dan
dicapai kesepakatan sebagai berikut.
• Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda
pembayarannya hingga tahun 1972-1979.
• Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970
dipertimbangkan untuk ditunda juga pembayarannya.
Perundingan dilanjutkan di Amsterdam, Belanda pada tanggal 23-24 Februari 1967.
Perundingan itu bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar
negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunak yang selanjutnya
dikenal dengan IGGI (Inter Governmental Group for Indonesia). Melalui pertemuan
itu pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri. Indonesia
mendapatkan penangguhan dan keringanan syarat-syarat pembayaran utangnya.
3. Pembangunan Nasional
Dilakukan pembagunan nasional pada masa Orde Baru dengan tujuan terciptanya
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan
kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman
pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur
Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua
lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi
Pembagunan adalah sebagai berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :
1. Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal
pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat,
perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk
mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian,
karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal
15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia.
Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut
Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang
Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan
pembakaran barang-barang buatan Jepang.
2. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya
adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana,
mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II
cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal
pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi
turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun
menjadi 9,5%.
3. Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III
pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih
menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan,
yaitu:
• Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan
perumahan.
• Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
• Pemerataan pembagian pendapatan
• Pemerataan kesempatan kerja
• Pemerataan kesempatan berusaha
• Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi
generasi muda dan kaum perempuan
• Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
• Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
4. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya
adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980
yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya
mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan
ekonomi dapat dipertahankan.
5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya
pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup
baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan
luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor
lebih baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya
masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan
pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama
pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara
Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik
dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Masa Pemerintahan Orde Baru
Pada masa Orde Baru, konflik daerah dapat dikatakan dapat diredam. Hal ini
dikarenakan pada masa Orde Baru pemerintah dipimpin dengan sangat otoriter
dengan seorang pemimpin yang mempunyai basis militer. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan urusan negara atau dianggap membahayakan negara dan
pemerintah dengan cepat akan segera dihukum atau diberi sanksi sehingga
masyarakat dibungkam dan tidak dapat menyalurkan aspirasinya. Media pun tidak
boleh sembarangan menulis atau mengedarkan berita yang berhubungan atau
menyangkut “ kebobrokan “ pemerintah, sehingga pada masa Orde Baru
berita-berita yang disiarkan baik melalui media elektronik maupun media cetak
sangat diawasi betul penyiarannya. Kalau ada yang menyindir-nyindir pemerintah
atau menulis sindican-sindiran terhadap pemerintah maka pemerintah tidak
segan-segan untuk “ membredel “ media-media tersebut. Bahkan banyak sekali
buku-buku kritikan yang dilarang terbit pada masa Orde Baru. Bahkan aspirasi
politik pun dipaksa oleh pemerintah sehingga partai Golongan Karya seolah-olah
menjadi partai pilihan mayoritas masyarakat sehingga masyarakat merasa
teralienasi di negaranya sendiri.
Ternyata pemerintah juga mengalami “ penurunan pengawasan “ sehingga perlawanan
pun terjadi. Kekecewaan-kekecewaan rakyat pun etrungkap semua. Desentralisasi
yang diidam-idamkan masyarakat Sejas masa Orde Lama masih saja Belum dapat
terealisasikan di masa Orde Baru. Peristiwa yang sangat mengejutkan adalah
lepasnya Timor Timur dari Indonesia karena menginginkan daerah otonomi yang
tidak kunjung terlaksana. Dari sinilah kemudian masa-masa Orde Baru mengalami
penurunan yang akhirnya muncul reformasi.
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan
nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk
mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan
Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya,
dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi
dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh
pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang
sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas
administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud
dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan
berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan
pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah
tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya,
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau
Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah, dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan
urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah
oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
2. Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru
Keberhasilan Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi,
harus diakui sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah
dengan meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat
dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, keberhasilan ekonomi
maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental (
character building ) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan
maupun pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat). Kalimaksnya, pada pertengahan
tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi
penguasa, aparat dan penguasa)
1. Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru,
terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum.
Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setelah Orde Baru memegang tumpuk
kekuasaan dalam mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus
menerus mempertahankan kekuasaannya atau status quo. Hal ini menimbulkan
akses-akses nagatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut.
Akhirnya penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan
ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru.
2. Krisi Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan
permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok
tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945
Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum)
kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat,
tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan
direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan
kekeluargaan (nepotisme). Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa
tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan
itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut
untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam
MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Perkembangan Politik Dan Ekonomi Pada Masa Reformasi
1. Munculnya Gerakan Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan
perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan
reformasi, pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan
dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan
hukum. Buah perjuangan dari reformasi itu tidak dapat dipetik dalam waktu yang
singkat, namun membutuhkan proses dan waktu. Masalah yang sangat mendesak,
adalah upaya untuk mengatasi kesulitan masyarakat banyak tentang masalah
kebutuhan pokok (sembako) dengan harga yang terjangkau oleh rakyat. Sementara
itu, melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin tidak
terkendali, rakyat menjadi semakin kritis menyatakan pemerintah Orde Baru tidak
berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera.
Oleh karena itu, munculnya gerakan reformasi bertujuan untuk memperbaharui
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa antara lain sebagai
berikut :
• Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
• Amandemen UUD 1945
• Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
• Otonomi daerah yang seluas-luasnya
• Supremasi hukum
• Pemerintahan yang berisi dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
2. Kronologi Reformasi
Pada awal bulan Maret 1998 melalui Sidang Umum MPR, Soeharto terpilih kembali
menjadi Presiden Republik Indonesia, serta melaksanakan pelantikan Kabinet
Pembangunan VII. Namun pada saat itu semakin tidak kunjung membaik.
Perekonomian mengalami kemerosotan dan masalah sosial semakin menumpuk. Kondisi
dan siutasi seperti ini mengundang keprihatinan rakyat. Mamasuki bulan Mei
1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demostrasi
dan aksi keprihatinan yang menuntut turunya Soeharto dari kursi
kepresidenannya.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti,
terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan tertembaknya empat
mahasiswa hingga tewas. Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung
DPR/MPR. Pada tanggal itu pula di Yogyakarta terjadi peristiwa bersejarah.
Kurang lebih sejuta umat manusia berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta
untuk mndengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Bowono X dan Sri Paku Alam
VII. Inti isi dari maklumat itu adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat
untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa
Indonesia untuk dimintai pertimbangannya membentuk Dewan Reformasi yang akan
diketuai oleh Presiden Soeharto, namun mengalami kegagalan. Pada tanggal 21 Mei
1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharti meletakkan
jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah
Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya
menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung
dan para anggotanya. Maka sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat
oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke-3. Era Reformasi di Indonesia
dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin
besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan
Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang
dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998
yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa
pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam
maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari
jabatannya.
Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung
dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runttuh.
Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan
keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat
masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban,
mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi.
Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional
kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor
tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing
dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu
baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidak kompetetif hari
ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk
mengubah sistem pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru
yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tidak tepat.
Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa
mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit
diputus.
Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk
mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang
ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding
melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga
pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam filsafat pendidikan
nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor bidang pendidikan tetap
mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya,
menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian
berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja
berpedoman kepada teori-teori Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh
tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan
berikutnya.
Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN
menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya pada
proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.
Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat
aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika
dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis
pendidikan.
Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi
pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya
bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda.
Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan
negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah
informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak
lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini
bisa dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti,
gelar-gelar akademik juga tidak lagi relefan.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi
dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses
pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis).
Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus
menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan
pada beberapa pilihan yaitu
1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti
mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi
yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan
memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat
berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih
mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan
asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi
yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu,
otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga
memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan
peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam
Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang
lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan
sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah
otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan
pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan
fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara
utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang
selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah
propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah
administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi
kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom.
Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat
dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah
kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah
propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan
mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara
lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan
dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya
sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan,
anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab
kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab
kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai
pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah,
sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan
pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah,
daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau
digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu
daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih
bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang
ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi
otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang
bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak
efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten
atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan
dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala
propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan
Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan
cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah
Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak
ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah
daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis
Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan,
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha
milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan
pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten
Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat
meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah
setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
otonomi daerah (uu,
pengertian, kelebihan dan kekurangan, keberhasilan otonomi daerah)
UU
Otonomi Daerah
UU otonomi daerah di Indonesia merupakan dasar hukum
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. UU otonomi daerah di Indonesia merupakan payung hukum
terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU otonomi
daerah seperti,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan seterusnya.
UU otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari
ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang
menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan
pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU
Otonomi Daerah untuk mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 18 ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang”.
Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU
otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi
pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang
menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan
reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan.
Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan
berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur
dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
Perubahan UU Otonomi Daerah
Pada tahap selanjutnya UU otonomi daerah ini mendapatkan kritik dan masukan
untuk lebih disempurnakan lagi. Ada banyak kritik dan masukan yang disampaikan
sehingga dilakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang otonomi daerah. Dengan terjadinya judicial review maka
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diubah dan
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
ini juga diikuti pula dengan perubahan peraturan perundang-undangan lainnya
yang mengatur mengenai otonomi daerah yang berfungsi sebagai pelengkap
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya digantikan
dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah.
Sesungguhnya UU otonomi daerah telah mengalami beberapa kali perubahan
setelah disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun
perubahan tersebut meskipun penting namun tidak bersifat substansial dan tidak
terlalu memberikan pengaruh terhadap tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah karena hanya berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah.
Sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomo 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).
Selanjutnya dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
PENGERTIAN, PRINSIP DAN TUJUAN OTONOMI DAERAH
1. Pengertian
Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri
dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat
diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri
(Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan
bahwa :
1. F. Sugeng
Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga daerah.
2. Ateng
Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian
itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3. Syarif Saleh,
berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah
sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa
otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah
nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat.
Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu
pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah
dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber
sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan
kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif
sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan
untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar
pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud
kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan
kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya
sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi
yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang
dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan
untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati
peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk
menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah
senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas,
dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah
pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
1. Aspek Hak dan
Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Aspek kewajiban
untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya,
serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek
kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan
kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber
pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya
kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang
kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban
harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya
wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri,
menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan
sendiri.
Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor
23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1. Berinisiatif
sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
2. Membuat
peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3. Menggali
sumber-sumber keuangan sendiri.
4. Memiliki alat
pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
2. Prinsip
dan Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat.
Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk
menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi
pemerintahan yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan
yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat
pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun
daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi
antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada
provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka
diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang
masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya
terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk
berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999,
dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk
lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah
otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan
yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama
serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi
daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan
otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b. Pelaksanaan
otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c. Pelaksanaan
otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah
kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan
otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya
dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f. Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan pemerintah daerah.
g. Pelaksanaan
azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai
wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h. Pelaksanaan
azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah,
tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987)
mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a. Mengemukakan
kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah
air Indonesia.
b. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam
bidang perekonomian.
· KELEBIHAN DAN
KEKURANGAN OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah dalam
sejarah Indonesia bukanlah hal yang baru. Dalam perundang-undangan, otonomi
daerah telah diatur sejak masa Orde Baru yaitu dalam Undang-Undang No. 5 tahun
1974 tantang pokok-pokok pemenrintahan daerah (1). Tetapi pada prakteknya,
otonomi daerah tidak pernah dilaksanakan, pemerintah pusat tetap menjalankan
desentralisasi dalam hubungan antara pusat dan daerah.
Setelahnya runtuhnya Orde Baru, pemerintahan baru di bawah pimpinan Presiden
Habibie mendapatkan tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan
dihadapkan kepada beberapa pilihan menyangkut hubungan pusat dan daerah.
Pertama, pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah. Kedua, pembentukan
negara federal dan ketiga, membuat pemerintah daerah sebagai agen murni
pemerintah daerah (2).
· Digagasnya otonomi
daerah ini tentunya tidak terlepas dari keinginan untuk pemerataan pembangunan
di daerah-daerah seluruh Indonesia, tetapi tentu saja ini tidak terlepas dari
kelemahan dan kelebihan yang dimiliki sistem otonomi daerah ini. Berikut adalah
kelebihan dan kelemahan otonomi daerah yang dapat dihimpun oleh penulis sebagai
berikut:
A. Kelebihan
1.
Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat
pemerintahan
2.
Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak
yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu
intruksi dari Pemerintah pusat.
3.
Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan
pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi
kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih muda
menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
4.
Dengan adanya desentralisasi territorial,
daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang
berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara.
Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara,
sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan
oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.
5.
Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan
dari Pemerintah Pusat.
6.
Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat
lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebuh beser kepada daerah.
B. Kekurangan
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kekurangan
sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini:
1.
Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka
struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang mempersulit koordinasi.
2.
Keseimbangan dan keserasian antara
bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
3.
Khusus mengenai desentralisasi teritorial,
dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
4.
Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang
lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
5.
Dalam penyelenggaraan desentralisasi,
diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau
uniformitas dan kesederhanaan.